Langkah Menkes Budi Gunadi Menohok Satgas Covid-19 dan Presiden Jokowi

Home / Artikel / Langkah Menkes Budi Gunadi Menohok Satgas Covid-19 dan Presiden Jokowi

Belum lama menjabat sebagai Menteri Kesehatan, Budi Gunadi Sadikin segera menampilkan sikap terbuka yang diapresiasi banyak kalangan. Sementara publik menyukai gaya komunikasinya yang rinci dan mudah dipahami, kalangan pakar mengapresiasi Menkes karena bersedia menerima kritik.

Bahkan, Menkes tak gengsi mengakui adanya karut marut dan masalah dalam strategi pemerintah yang berakibat pandemi Covid-19 di Indonesia tak kunjung terkendali. Satu per satu benang kusut penanganan pandemi diurai oleh Menkes.

Terbaru pada Jumat, 22 Januari 2020 Menkes tanpa ragu menyampaikan bahwa test Covid-19 di Indonesia telah salah secara epidemiologi.

Ini cukup mengejutkan karena test Covid-19 merupakan aspek mendasar dalam penanganan pandemi yang juga merupakan produk kebijakan pemerintah sendiri. Mengingat pandemi sudah berlangsung hampir 1 tahun, langkah Menkes merupakan “kritik ke dalam” yang menohok para leading sector penanganan pandemi di tanah air.

Ketimpangan Tes Covid-19

Menurut Menkes terlalu banyak tes yang dilakukan terhadap orang-orang yang sebenarnya tidak terlalu berisiko dan bukan suspek. Ia mencontohkan dirinya sendiri sebagai menteri yang bisa menjalani tes Covid-19 berkali-kali dalam seminggu hanya untuk keperluan bertemu Presiden.

Sesuai protokol hal itu memang dibenarkan. Namun, pada saat yang sama test dalam rangka skrining para suspek dan pelacakan kontak erat orang-orang yang telah terinfeksi Covid-19 belum mencakup jumlah yang semestinya. Ketimpangan test ini dinilai salah kaprah.

Menariknya, pernyataan Menkes tersebut hanya berselang sehari setelah Satgas Covid-19 menyatakan jumlah tes di Indonesia telah mencapai batas standar WHO.

Seakan menohok Satgas Covid-19, ketimpangan test dan tracing yang diungkap oleh Menkes memperjelas alasan mengapa penularan Covid-19 di Indonesia terus meningkat meski jumlah test yang dilakukan terbilang banyak. Sebab jumlah test yang banyak tidak disertai dengan cakupan sasaran pelacakan yang tepat. Banyaknya test juga tidak sebanding dengan ekskalasi pandemi di Indonesia.

Menurut Menkes pula, laporan jumlah test Covid-19 mestinya lebih banyak mencakup tes yang dilakukan pada suspek dan kontak erat dalam rangka skrining. Sedangkan para pejabat, artis, dan orang-orang yang bukan suspek tapi berulang kali melakukan test tak bisa dianggap sepenuhnya sebagai angka pelacakan Covid-19. Artinya laporan test yang selama ini tercatat menjadi bias.

“Itu kalau pergi-pergi yang nggak apa-apa (tes), tapi jangan masuk laporan…ini yang salah kaprahnya di situ”, kata Menkes.

Sejumlah pakar kesehatan dan epidemiolog sebenarnya sejak lama telah menyoroti test dan tracing Covid-19 di Indonesia. Sayangnya pemerintah, termasuk Presiden Jokowi dan sejumlah pembantu terdekatnya cenderung bersikap “denial” dan suka mengelak sembari menegaskan bahwa penanganan pandemi di Indonesia sudah on the track.

Oleh karena itu, keberanian Menkes memaparkan kesalahan test dan tracing Covid-19 layak diapresiasi. Dengan demikian anggapan bahwa data dan laporan pandemi di Indonesia tidak akurat terbukti bukan sesuatu yang mengada-ngada.

Satgas Perlu Dievaluasi

Keterbukaan Menkes soal salah kaprah test dan tracing mengandung pesan penting bagi Presiden Jokowi untuk mengevaluasi Satgas Covid-19 yang dimotori oleh BNPB dan di bawah Komite Pemulihan Ekonomi yang dipimpin Menko Perekonomian.

Secara tersirat Menkes sedang menyampaikan keinginannya agar Satgas Covid-19 diletakkan di bawah koordinasi Kementerian Kesehatan. Ini cukup masuk akal sebab kementerian inilah yang memiliki kapasitas, sumber daya, perangkat dan pengalaman dalam penanganan wabah.

Kebijakan Jokowi menempatkan Satgas Covid-19 di bawah Komite Penanganan Ekonomi telah menghambat koordinasi. Antara BNPB dan Kementerian Kesehatan tak ada jalur koordinasi kelembagaan secara langsung.

Satgas Covid-19 yang berada di bawah komite pimpinan Menko Perekonomian membuat aspek kesehatan tak mendapatkan prioritas yang maksimal. Alih-alih mengakselerasi penanganan pandemi, Satgas Covid-19 justru terikat ruang geraknya karena pemerintah selalu menekankan ekonomi dan kesehatan harus beriringan. Padahal itu terbukti sulit dilakukan. Tidak mungkin memulihkan ekonomi jika masalah kesehatan belum tertangani.

Maka dari itu, dengan memaparkan fakta soal test dan tracing di Indonesia, Menkes sebenarnya menghendaki agar Presiden mengubah kebijakannya. Yakni melepaskan Satgas Covid-19 dari Komite Pemulihan Ekonomi atau memberikan kewenangan kepada Kementerian Kesehatan untuk memimpin Satgas Covid-19.

Realistis soal Vaksinasi

Tak hanya masalah test dan tracing Covid-19 yang diungkap oleh Menkes. Melainkan juga hambatan vaksinasi Covid-19 yang membuatnya “mules”.
Menurut Menkes ada kesalahan perhitungan dalam distribusi vaksin Covid-19. Sejumlah vaksin yang dikirim ke beberapa provinsi terpaksa dikembalikan karena fasilitas rantai dingin di daerah tidak cukup. Setelah diusut, Menkes baru mengetahui bahwa fasilitas penyimpanan di beberapa provinsi sudah penuh untuk menyimpan vaksin-vaksin lainnya.

Masalah rantai dingin tersebut membuat Menkes pusing karena kalau di tingkat provinsi saja sudah terjadi kekurangan fasilitas, maka ia membayangkan masalah lebih pelik akan dijumpai di kabupaten, kota, hingga Puskesmas.

“Ini baru kirim yang 1,2 juta, belum yang kirim 25 juta sebulah. Kenapa penuh? karena salah hitung (rantai dingin)”, tegasnya.

Oleh karena itu, Menkes akan merancang ulang strategi vaksinasi Covid-19 yang disesuaikan dengan kapasitas setiap kota/kabupaten. Menkes lalu membandingkan vaksinasi di daerah-daerah di Jawa yang akan bisa dilakukan secara cepat, tapi tidak dengan di tempat-tempat lainnya, terutama kawasan timur Indonesia.

Kejujuran Menkes mengungkap masalah distribusi dan logistik vaksin seolah menjadi sinyal untuk Presiden Jokowi agar bersikap realistis tentang target vaksinasi.

Sebab presiden meminta vaksinasi Covid-19 diselesaikan dalam waktu kurang dari 1 tahun. Sementara Menurut Menkes vaksinasi Covid-19 baru akan tuntas paling cepat pada Maret 2022 atau butuh waktu 15 bulan.

Dalam perhitungan Presiden Jokowi sebanyak 10.000 Puskesmas di seluruh Indonesia mampu menjadi penggerak vaksinasi.

Target presiden tampaknya memang kurang realistis karena seakan tidak memperhitungkan logistik dan distribusi antar wilayah. Ketidakcukupan fasilitas rantai dingin yang diungkap oleh Menkes menjadi salah satu bukti bahwa vaksinasi Covid-19 di Indonesia dipengaruhi banyak variabel. Bukan hanya jumlah Puskesmas dan Vaksinator.

Langkah berani dan terbuka yang diperlihatkan Menkes dengan mengungkap sejumlah kesalahan dan kelemahan penanganan pandemi serta vaksinasi Covid-19 di atas telah menohok banyak pihak. Tak terkecuali Presiden Jokowi dan Satgas Covid-19 yang selama ini kerap mengklaim penanganan pandemi di Indonesia jauh lebih baik dibanding beberapa negara lain.

Keterbukaan Menkes harus ditangkap sebagai isyarat bahwa Indonesia perlu segera mengubah cara penanganan pandemi mulai dari aspek paling mendasar yakni, test dan tracing. Terkait vaksinasi Covid-19, euforia yang diperlihatkan oleh sejumlah kalangan termasuk Presiden Jokowi harus dibarengi sikap realistis dan pembenahan sesegara mungkin pada aspek distribusi dan logistik.

Langkah Menkes mestinya dimaknai positif, bukan dengan pengelakan. Dengan demikian penanganan pandemi di Indonesia bisa menjadi lebih baik sehingga pandemi segera terkendali.

Sumber: Dok. Youtube KompasTv