KPU DAN NARASI PILPRES CURANG

Home / Opini / KPU DAN NARASI PILPRES CURANG

Oleh: Zinal Arifin Mochtar

KOMPAS CETAK Edisi Sabtu, 18 Mei 2019

Pemilihan presiden untuk Indonesia telah diawali oleh para pemilih di bilik suara. Hasilnya belum ditentukan.

Masih ada prediksi dan informasi. Hitung cepat telah memberikan keduanya, baik prediksi maupun informasi itu. Namun, penentunya bukanlah penghitungan cepat. Klaim kemenangan juga bukan penentu keterpilihan. Ada lembaga negara yang diatur secara khusus di konstitusi untuk menyatakan hal tersebut, yakni Komisi Pemilihan Umum (KPU). Sayangnya, KPU pun mengalami begitu banyak persoalan yang tak sederhana.

Pertarungan dan klaim dipindahkan secara masif ke KPU. Wajar jika kemudian KPU mengalami keterlambatan dalam kerjanya karena diharuskan memverifikasi begitu banyak informasi simulakrum, yang mulai sulit ditentukan dengan mudah mana yang benar dan mana yang tidak. Padahal, pada saat yang sama, kinerja KPU ini akan sangat menentukan tahap lanjutan untuk menentukan siapa yang terpilih dalam proses pilpres. Pada titik itulah lahir narasi pemilu curang dan KPU dituduh sebagai salah satu pelakunya. Mungkinkah?
KPU curang?

Mungkinkah KPU curang?
Pertanyaan ini serupa meski tak sama dengan: mungkinkah sebagai manusia melakukan kesalahan? Jawabannya tak perlu dinalar terlalu jauh: tentu saja mungkin, mengingat to err is human. Namun, pada titik itulah sistem dan mekanisme kerja mengontrol kemungkinan untuk curang ini. KPU sekarang ini bekerja berdasarkan sistem yang dibangun demi tata kelola (governance) pemilu. Pertama, KPU terdiri atas banyak unsur. KPU dan jajaran komisioner di pusat serta KPU di daerah hingga petugas-petugas yang bekerja untuk KPU. Jumlahnya tentu saja amat banyak. Dalam rentang kendali vertikal yang sangat banyak ini, apakah mungkin ada yang melakukan kecurangan? Tentu saja masih mungkin.

Akan tetapi, sistem dan kontrol berjenjang yang akan mempurifikasi kemungkinan itu. Ada pantauan publik yang sangat kuat. Ada kedua kandidat yang masing-masing memiliki salinan data hingga C1 yang amat lengkap. Serta rekapitulasi yang dibuat berjenjang membuat jenjang di atas masih sangat mungkin untuk melakukan kontrol secara kualitatif dan kuantitatif atas data yang ada. Rekapitulasi berjenjang ini juga dihadiri tim setiap kandidat.

Memang di beberapa daerah ada salah satu kandidat menolak menandatangani, tetapi penolakan itu tak memiliki dasar yang bisa dibuktikan kenapa ditolak, apa kekurangannya hingga wajar untuk ditolak dan tidak ditandatangani.

Sistem rekapitulasi berjenjang pilpres itulah yang meminimalkan kemungkinan narasi curang. Kecuali kalau masih ada yang percaya bahwa KPU beserta seluruh jajaran di daerah hingga petugas yang paling bawah melakukan janji bersama untuk melakukan tindakan curang. Melibatkan begitu banyak orang secara bersamaan berlaku curang pun sesungguhnya masih sulit mengingat adanya saksi di setiap tahap rekapitulasi berjenjang. Apakah kita bisa katakan bahwa KPU pasti berkomplot untuk melakukan kecurangan bersama dengan para saksi pasangan calon masing-masing?

Salah satu hal yang mengemuka saat ini adalah tudingan adanya kecurangan masif dan adanya tuntutan dari kubu yang mengembuskan adanya kecurangan masif bahwa seharusnya ada diskualifikasi terhadap capres lawan. Tudingan kecurangan ini tentu harus dihitung dengan benar magnitudo dan persebarannya. Bahasa hukum yang dipakai tentu saja pengukuran dari terstruktur, sistematis, dan masif itu. Apakah mudah menentukannya?

Kedua, apakah mungkin tujuh komisioner sebagai pemegang kuasa tertinggi di KPU berbuat curang dengan pilpres? Sistem berjenjang di atas sesungguhnya sudah menjawab itu. Keberjenjangan meminimalkan peran komisioner KPU di pusat untuk memonopoli kebenaran data atau berbuat curang guna merusak kualitas pemilu.

Pada saat yang sama, ada mekanisme dan sistem perundang-undangan yang mengatur kerja dan kualitas KPU. Lembaga negara independen seperti KPU dipilih melalui proses yang melibatkan presiden dalam membentuk pansel dan DPR yang melakukan uji kelayakan dan kepatutan. Model ini dipakai di begitu banyak negara meski dengan varian tertentu. Model itu menegaskan bahwa pertarungan pemilihan oleh partailah yang akan mencegah penguasaan kepentingan oleh partai tertentu ke KPU.
Dan, jika melihat KPU saat ini, para komisioner didukung secara kolektif oleh partai pendukung capres masing- masing. Mereka didukung secara berimbang. Padahal kita tahu, biasanya lembaga negara independen sangat mungkin dimasuki kepentingan politik lewat proses uji kelayakan dan kepatutan di DPR. Maka, tatkala mereka didukung secara kuat dan berimbang oleh semua partai pendukung kedua pasangan calon, rasanya mustahil komisioner main mata dengan mudah.

Sebenarnya, sangat mudah untuk melihat apakah kepentingan politik ada dipaksakan dan membelah suatu lembaga negara seperti KPU atau KPK, yakni adanya proses pengambilan keputusan secara kolegial kolektif. Pengambilan keputusan secara bersama akan mudah memperlihatkan kemungkinan adanya kepentingan politik yang membelah pengambilan keputusan di lembaga itu. Di KPK, terlihat beberapa kali pengambilan keputusan yang membelah para komisioner KPU, pada proses tertentu dalam organisasi KPK dan penanganan perkara. Namun, keterbelahan ini hampir tak ada di KPU. Hampir semua pengambilan keputusan dilakukan secara kolegial dan kolektif serta secara aklamasi dan tanpa pembelahan. Dari sini dapat dilihat, ketiadaan kepentingan politik yang banyak dan membelah pengambilan keputusan oleh KPU.

Ketiga, proses di KPU sering tak tunggal. Dalam penyusunannya melibatkan begitu banyak pihak. Bahkan, dalam penyusunan aturannya ikut melibatkan DPR dalam tahapan tertentu. Artinya, ada kontrol kuat dan kolektif terhadap KPU. Keempat, terkait tudingan adanya kecurangan melalui Sistem Informasi Penghitungan Suara (Situng) KPU. Mekanisme perundang-undangan sudah mengantisipasi berbagai kemungkinan dalam penghitungan suara menggunakan teknologi informatika, termasuk serangan dan pertarungan di dunia maya.

Karena itu, Situng tidaklah mengikat dan dijadikan sandaran dalam menentukan pemenang pilpres. Yang dipakai tetap saja rekapitulasi berjenjang yang akan dikontrol secara luas. Kalau begitu, untuk apa Situng dilakukan? Tak lebih dan tak kurang untuk memberikan kepercayaan luas kepada publik bahwa ada proses penghitungan terhadap hasil pemilihan. Situng dilakukan agar dapat menjawab rasa ingin tahu masyarakat akan proses penghitungan yang jika dilakukan rekapitulasi secara manual akan butuh waktu cukup lama. Itu sebabnya, Situng membuka kesempatan untuk koreksi kolektif. Logikanya bukan dibalik dengan mengatakan karena ada kesalahan Situng, maka pasti ada kecurangan. Justru kesalahan itu membuktikan bahwa publik bisa berpartisipasi mengawal kualitas dan meminimalkan kemungkinan kesalahan.

Pilpres curang?
Dari paparan itu, secara keseluruhan—tanpa bermaksud untuk mengatakan pasti KPU tak curang— rasanya mustahil terjadi kecurangan dimaksud karena sistem dan mekanisme bekerja untuk mengawal hal itu. Namun, apakah berarti mustahil adanya pemilu yang curang? Kecurangan pilpres dimungkinkan, setidaknya pada tiga level. Pertama, pra-pemilihan dalam bentuk penggunaan kuasa negara dan berbagai kepentingan untuk memenangkan pasangan calon tertentu. Kedua, saat pemilihan dengan menggunakan vote buying dan berbagai tindakan membeli suara untuk membentuk proses pemilihan yang diinginkan. Ketiga, mencurangi proses penghitungan suara dengan berbagai cara guna memengaruhi hasil penghitungan.

Logika kecurangan itu dapat kualitatif atau kuantitatif sifatnya. Secara kuantitatif, memang ada beberapa potongan informasi berseliweran di medsos. Kecurangan yang bermain di tingkat paling dasar, yakni TPS. Ada beberapa yang terbukti hoaks. Ada beberapa yang belum terverifikasi kebenarannya. Problemnya adalah seberapa masif jumlah tersebut? Jumlah menjadi penting untuk menghindarkan logika “nila setitik rusak susu sebelanga”. Ada 813.000 TPS.

Kecurangan bisa saja terjadi, tetapi seberapa signifikan jika dibandingkan dengan jumlah TPS yang ada? Daripada membangun logika dan narasi pemilu curang dan aksi massa, jauh lebih baik jika tim yang melontarkan tudingan kecurangan mulai mengumpulkan secara detail data tersebut dan magnitudonya agar bisa dipersiapkan di hadapan Mahkamah Konstitusi (MK). Tujuannya agar tak terulang kejadian sengketa Pilpres 2014, di mana ada narasi kecurangan yang diklaim didukung bukti lengkap bertruk-truk, tetapi bukti tersebut tak kunjung hadir hingga selesainya persidangan sengketa Pilpres 2014.

Waktu mengumpulkan amat terbatas karena UU menyatakan hanya tiga hari dari pengumuman resmi KPU, pendaftaran sengketa sudah harus dilakukan. Bahkan, jika menggunakan logika sengketa di MK, jumlah yang dibuktikan haruslah jumlah yang dapat mengubah perolehan suara dan berimplikasi pada keterpilihan calon. Maka, secara kuantitatif, harus ada logika hukum yang membuktikan “terjadi kecurangan di jumlah tertentu, itu memengaruhi jumlah suara sejumlah tertentu dan jumlah itu dapat mengubah peringkat kandidat dan memengaruhi keterpilihan capres”.

Kualitatif, tentu saja menilai dari sisi seberapa kuat kecurangan itu dan pembuktian keterlibatan pasangan capres dalam upaya mengalahkan pasangan capres lain. Pertanyaan menarik di sini: siapa yang melakukan kecurangan? Bagaimana mekanisme kecurangan terjadi? Bagaimana keterlibatan langsung pasangan calon dengan memerintahkan terjadinya kecurangan? Membuktikan itu tentu tak sederhana, tapi menjadi wajib dilakukan tatkala mendalilkan adanya kecurangan.

Pembuktian sengketa pilpres dengan tuduhan kecurangan terstruktur, sistematis, dan masif pun biasanya tak sederhana di MK. Sejauh mana struktur terlibat dan melibatkan rentang komando yang jelas dari pasangan calon yang memegang kuasa negara dan aparatur sipil ketika memaksa bawahannya untuk tak berimbang. Sejauh mana sistematisnya, diukur dengan kecurangan yang diatur dengan menggunakan sistem. Dan, seberapa masifkah itu dilakukan dengan menghitung besaran dan area terdampak dari tindakan tersebut. Kata saktinya adalah pembuktian di proses persidangan MK. Tak layak membangun narasi besar pemilu curang, bahkan dengan ancaman kekerasan dan penggunaan massa serta tindakan inkonstitusional lainnya. Jauh dari kesan demokratis yang dibayangkan dalam sebuah negara demokrasi berdasarkan konstitusi. Menggunakan perangkat secara konstitusional menjadi penting. Menang dan kalah dalam pertarungan konstitusional dan bermartabat juga amat penting. Mari melakukannya bersama.

ARTIKEL OPINI: KPU dan Narasi Pilpres Curang oleh ZAINAL ARIFIN MOCHTAR
Pengajar Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta; Peneliti PuKAT Korupsi FH UGM