MEMBANGUN FILANTROPI BERBASIS INTELEKTUALISME A’LA DENNY JA

Home / Opini / MEMBANGUN FILANTROPI BERBASIS INTELEKTUALISME A’LA DENNY JA

Oleh: Dr. Satrio Arismunandar
Anggota organisasi penulis Satupena, Pemimpin Redaksi majalah pertahanan Armory Reborn, dan mantan Sekjen AJI (1995-1997)

– Menanggapi Akmal Nasery Basral –

“Atas namamu, Juli Nugroho, bantuan kepada keluarga 50 aktivis ini kulakukan. Semoga donasi ini sampai padamu.”

Demikianlah penutup dari esai mengharukan yang ditulis Denny JA. Juli Nugroho adalah sahabat Denny, sesama aktivis mahasiswa dan intelektual muda tahun 80an, 90an.

Juli Nugroho wafat karena Covid-19. Di bulan Juni dan Juli 2021, periode puncak pandemi, sudah 9 aktivis yang wafat karena Covid-19.

Denny JA terlambat mengetahui kondisi Juli Nugroho. Hanya lima hari terpapar Covid-19, Juli Nugroho meninggal di Jawa Tengah.

Yang unik, cara Denny mengenang sahabatnya itu adalah dengan memberi donasi kepada keluarga 50 aktivis. Di antara mereka adalah para janda dari para aktivis besar yang sudah tiada.

Karena saya berada di lingkaran aktivis, saya ikut merasakan rasa terima kasih keluarga aktivis itu. Bukan karena jumlah uang bantuan, tapi dibantu di era sulit pandemik seperti sekarang ini, sungguh seperti menerima tetesan air segar setelah kering kerontang yang panjang.

Derma Denny JA kepada keluarga 50 aktivis di akhir Juli 2021 semakin meneguhkan keyakinan saya bahwa derma memang dapat dilakukan dengan banyak cara.

Denny JA mengembangkan jenis derma di bidang literasi dan lingkungan aktivis. Ini filantropy berbasiskan intelektualisme.

-000-

Baru-baru ini rekan saya, novelis Akmal Nasery Basral, menulis artikel “Patron Literasi di Era Disrupsi: Meneroka Peran Denny JA Sebagai Filantropi.” Artikel karya mantan wartawan Majalah Gatra dan Tempo itu beredar di media sosial.

Tulisan saya inu merupakan tanggapan atas artikel Akmal, yang antara lain mengungkap kiprah filantropis Denny JA di dunia literasi.

Dalam artikelnya, Akmal menyatakan, ada tiga cara merawat kebudayaan secara aktif yang sudah terpetakan di sepanjang sejarah peradaban.

Pertama, menjadi produsen/pencipta dalam merumuskan ide, menciptakan artefak dan menggalang interaksi produk kebudayaan.

Kedua, menjadi konsumen/penikmat yang kritis-apresiatif. Ketiga, menjadi patron yang suportif.

Kelompok pertama adalah para penulis, pengarang lagu, sutradara, pemahat, arsitek dan banyak profesi lain sejenis. Kelompok kedua adalah mereka yang menikmati, mengapresiasi dan menghargai karya kelompok pertama, termasuk dengan membeli karyanya.

Sedangkan kelompok ketiga adalah para patron, yang menopang proses kreatif kelompok pertama lewat dukungan finansial maupun non-finansial. Sehingga para kreator seni bisa fokus dalam mengeluarkan kemampuan terbaiknya dalam mencipta karya.

Dalam artikelnya, Akmal lebih memfokuskan pada wilayah literasi, yang memang menjadi bidang keahliannya. Menurut Akmal, patron selalu ditemukan pada setiap peradaban lintas zaman. Seperti: Gaius Cilnius Maecenas (70 SM-8 M) yang menyokong finansial penyair Virgil, Horace, Propertius, Varius Rufus, Plotius Tucca dan Dominitius Tarsus.

Sedangkan dalam sejarah kebudayaan Islam, juga ada Al Fath ibn Khaqan (817-861), patron terpandang di era kekhalifahan Abbasiyah. Al Fath menyokong nafkah penyair Al Walid ibn Ubaidillah Al Buhturi, sejarawan Abu Ishaq Ahmad ibn Muhammad ibn Ibrahim al Nisaburi al Tha’labi, dan lain-lain. Ia juga membangun perpustakaan besar di Samarra, Irak.

Akmal melihat sosok patron itu ada pada diri Denny JA. Denny adalah ilmuwan sosial dan penulis produktif, yang sudah menghasilkan 102 judul buku dengan beragam topik selama 40 tahun berkarya (1981-2021).

Denny JA juga filantropis kegiatan kemanusiaan.

Denny banyak membantu dan menyokong para penulis dalam mencipta dan menyebarkan karya-karyanya ke publik. Ini termasuk pada buku-buku karya Akmal sendiri.

Sudah tak terhitung penulis yang disokong secara individual seperti ini.
Bukan cuma untuk individu penulisnya. Pada Mei 2021, Denny juga memberikan donasi untuk organisasi penulis Satupena guna melancarkan kegiatan organisasi.

Satupena, yang beranggotakan ratusan penulis, dijadwalkan akan mengadakan “kongres,” pertengahan Agustus 2021.

Dalam tulisan ini, saya tidak akan membahas peran Denny JA sebagai patron seni, yang sudah cukup diuraikan oleh Akmal. Tetapi saya akan meluaskan bahasan ke aspek filantropis lain dari Denny JA yang meluas ke berbagai bidang.
Tidak terbatas pada dunia sastra atau kepenulisan.

-ooo-

Denny adalah sosok intelektual entrepreneur, yang awalnya berangkat dari masa dia menjadi “aktivis mahasiswa kere” di UI pada 1980-an, ketika Orde Baru masih berkuasa.

Denny JA adalah pelopor dan salah satu penggerak menjamurnya kelompok studi mahasiswa di era 80an.

Saat itu, Denny sendiri memimpin Kelompok Studi Proklamasi, yang sering menyelenggarakan diskusi-diskusi. Topik yang dibahas sangat beragam, tapi relevan dengan konteks keindonesiaan pada waktu itu.

Maka tak heran jika kiprah filantropis Denny banyak diwarnai oleh latar belakangnya sebagai aktivis dan intelektual.

Ketika itu, Denny terlibat dalam pergumulan pemikiran melalui kelompok studi, dan keikutsertaan dalam aktivitas di Yayasan Wakaf Paramadina, yang didirikan oleh Nurcholish Madjid pada 1986. Denny juga mengekspresikan geliat pemikirannya melalui tulisan-tulisannya di berbagai media.

Meskipun kini sudah menikmati “kebebasan finansial,” Denny mudah tersentuh jika mendengar kabar prihatin tentang kehidupan teman-teman aktivis atau mantan aktivis.

Seperti yang digambarkan di awal tulisan, di era pandemik,!Denny telah “berbagi rezeki” kepada sejumlah rekan aktivis dan keluarganya.

ISebagai mantan aktivis mahasiswa, Denny sangat menyadari kondisi sulit yang dihadapi para aktivis dan keluarganya karena berkurangnya atau hilangnya penghasilan.

Ditambah lagi, jika ada aktivis atau keluarganya yang sempat terpapar Covid, ini akan menggerus simpanan mereka demi biaya berobat dan memulihkan diri.

Bahkan, untuk melakukan isolasi mandiri di rumah pun membutuhkan banyak hal.
Akhir-akhir ini, Denny tergerak adalah wafatnya sembilan aktivis prodemokrasi karena Covid-19 pada Juni-Juli 2021.

Sembilan aktivis itu adalah: Juli Nugroho, Wiwik Sriwiasih, Chairilsyah, Dedy Mawardi, Joko Restu, Munif Laredo, Fahmi Harahap, Himawan Sutanto, dan Srie Mulyasari.

Sebelum itu, sudah ada beberapa aktivis lain yang meninggal, baik karena Covid ataupun penyakit lain. Sebagian aktivis ini dikenal Denny secara pribadi.

Maka Denny memberi bantuan dana kepada 50 aktivis, janda aktivis prodemokrasi, dan pejuang HAM. Tentu saja, nama-nama mereka tak perlu disebutkan di sini.

Dana itu boleh digunakan untuk apa saja, demi mengurangi tekanan akibat Covid-19. Denny tak punya maksud lain, kecuali berbagi.

Para aktivis ini tak jarang memiliki ideologi, pandangan, dan aspirasi politik yang berseberangan dengan Denny. Namun hal itu tak pernah dipersoalkan oleh Denny.

Masalah kemanusiaan tak sepatutnya dikaitkan dengan urusan perbedaan politik, agama, dan sebagainya. Cara pandang yang tidak membeda-bedakan ini menjadi salah satu ciri kiprah kemanusiaan Denny.

Pernah terjadi, seorang penulis kenamaan –yang dalam tulisannya mengecam habis program puisi esai Denny—dikabarkan sakit keras. Denny ternyata ikut prihatin.

Dia pun bergegas mencari kontak informasi, untuk memberi bantuan bagi penulis yang sakit keras tersebut.

Kiprah Denny mencakup aktivitas yang kita namakan filantropi. Filantropi merupakan inisiatif pribadi untuk kepentingan publik, dengan fokus pada kualitas hidup.

Filantropi berbeda kontras dengan inisiatif bisnis, yang merupakan inisiatif swasta untuk kepentingan pribadi dan berfokus pada keuntungan materi.

Filantropi juga berbeda dari sekadar amal (karitas), meskipun ada beberapa hal yang tumpang tindih. Amal bertujuan untuk meringankan derita dari masalah sosial tertentu, sedangkan filantropi mencoba untuk mengatasi akar penyebab masalah.

Jika problemnya adalah ketiadaan penghasilan, solusinya tak cukup dengan sekadar memberi sumbangan, meski sumbangan itu tentu juga membantu.

Saya sendiri mengetahui, ada beberapa kasus di mana Denny memberi modal atau tambahan modal bagi sejumlah aktivis, untuk menjalankan usaha, seperti bisnis restoran atau kafe.

Ini merupakan cara Denny untuk memberi kail, bukan sekadar ikan, atau mendukung adanya penghasilan yang berkelanjutan.

Bahkan secara tak terduga, Denny pernah memberikan modal awal untuk beberapa orang aktivis dan teman lama, untuk berinvestasi dalam mata uang kripto (bitcoin).

Kebetulan Denny sendiri suka mencoba hal-hal baru atau bisnis terobosan. Informasi tentang investasi mata uang digital, yang telah ia pelajari dan praktikkan, dibagi ke teman-teman lain.

Dalam setahun terakhir, mata uang kripto memang meningkat popularitasnya di Indonesia. Hal serupa pun terjadi di pasar internasional. Berdasarkan data Kementerian Perdagangan, hingga akhir Mei 2021, jumlah investor aset kripto di Indonesia mencapai 6,5 juta orang.

Jumlah tersebut meningkat lebih dari 50 persen jika dibandingkan dengan 2020, yang sebanyak 4 juta orang.

Tentu saja, apakah investasi itu akan sukses atau gagal, akan berpulang ke individu masing-masing, yang modal awalnya telah dibantu Denny.

Denny tidak mencampuri lebih lanjut cara pengelolaan investasi. Itu diserahkan ke pertimbangan dan kepentingan masing-masing.

-ooo-

Denny secara masif jelas sudah terlibat dalam berbagai kegiatan amal dan filantrofi. Menurut lembaga Giving Compass, istilah “amal” dan “filantropi” terkadang digunakan secara bergantian, tetapi ada perbedaan yang mencolok.

Amal adalah dorongan emosional alami untuk mengatasi situasi langsung, dan tindakan memberi itu biasanya terjadi dalam jangka pendek. Amal dapat berbentuk sumbangan uang atau sukarela.

Sedangkan, filantropi berusaha mengatasi akar penyebab masalah sosial. Hal ini membutuhkan pendekatan jangka panjang yang lebih strategis.

Selain memberikan uang atau bantuan, beberapa dermawan –misalnya– berpartisipasi dalam kerja advokasi.

Bantuan bencana adalah contoh di mana amal dan filantropi sama-sama berperan. Ketika membaca berita tentang bencana alam, banyak orang cenderung memberi sumbangan untuk kebutuhan dasar penyintas selama keadaan darurat.

Di sisi lain, filantropi melihat siklus hidup bantuan bencana secara penuh, dari pencegahan, kesiapsiagaan, hingga pemulihan.

Donor dapat fokus pada populasi tertentu, seperti orang tua atau orang miskin, sebagai bagian dari strategi mereka. Atau bekerja secara langsung dengan pemangku kepentingan, untuk meningkatkan sistem ketahanan sosial yang berkelanjutan.

Terlepas dari perbedaan area masalah, amal dan filantropi memiliki kesamaan utama: Semuanya tentang menyebarkan cinta dan kemanusiaan. Sementara itu, praktik filantropi modern kini sering dikaitkan dengan raksasa industri.

Bill Gates adalah pendiri dan pemilik perusahaan software raksasa, Microsoft, yang sistem operasinya digunakan di seluruh dunia. Aksi filantrofi Bill Gates dan (mantan) istrinya Melinda dilakukan melalui Bill & Melinda Gates Foundation, yang bertujuan memperbaiki sistem kesehatan dan mengurangi kemiskinan ekstrem di seluruh dunia.

Yayasan ini juga punya beberapa program bantuan di Indonesia.
Sedangkan Chan Zuckerberg Initiative (CZI) adalah organisasi filantropi yang dimiliki pendiri Facebook Mark Zuckerberg dan istrinya Priscilla Chan.

CZI berdiri dengan investasi 99 persen kekayaan pasangan ini dari saham Facebook mereka selama hidup mereka. CZI didirikan pada 2015 dan merupakan contoh filantrokapitalisme.

CZI dianggap sebagai “salah satu filantropi yang paling banyak didanai dalam sejarah manusia”.

Namun sejarah filantropi sebenarnya sudah lama di AS. Andrew Carnegie (1835–1919) adalah pemimpin filantropi paling berpengaruh dalam skala nasional di Amerika di zamannya.

Setelah menjual perusahaan bajanya pada 1890-an, ia mengabdikan dirinya untuk mendirikan organisasi filantropi, dan memberikan kontribusi langsung ke banyak lembaga pendidikan, budaya dan penelitian.

Dia membiayai lebih dari 1.800 perpustakaan yang dibangun di seluruh negeri. Proyek terakhir dan terbesarnya adalah Carnegie Corporation of New York, didirikan pada 1911 dengan sumbangan 25 juta dollar AS, kemudian diperbesar menjadi 135 juta dollar AS.

Secara keseluruhan, Carnegie memberikan 90% dari kekayaannya.
Sementara itu, Edsel Ford dan Henry Ford pada 1936 mendirikan Ford Foundation di Michigan dan berpusat di Kota New York. Pada 2008, organisasi ini mencatat jumlah aset sebesar 13,7 miliar dollar AS dan menyalurkan 530 juta dollar AS dalam bentuk hibah.

Hibah itu untuk proyek yang berfokus pada penegakan nilai demokrasi, pengembangan komunitas dan ekonomi, pendidikan, media, seni dan budaya, serta hak asasi manusia.

Ford juga memberi banyak untuk pembangunan universitas riset di Eropa dan di seluruh dunia.

Kaum dermawan selalu memberi, bahkan ketika mereka cuma memiliki sedikit. Tetapi ketika mereka memiliki lebih banyak dan berusaha untuk meningkatkan peran dan kiprah mereka, mereka mulai terlibat dalam filantropi.

-ooo-

Semua dermawan berangkat nilai-nilai yang diyakini secara pribadi. Dari uraian di atas, saya bisa menyatakan bahwa kiprah filantropis dan kemanusiaan Denny pada akhirnya banyak diwarnai oleh latar belakangnya sebagai aktivis dan intelektual.

Sisi intelektualnya memberi landasan untuk menyokong kegiatan-kegiatan yang mengedepankan nilai-nilai demokrasi, kebebasan berpikir dan berekspresi, hak asasi manusia, pluralisme, rasa kebangsaan, dan nilai-nilai lain semacam itu.

Pertimbangan itu, misalnya, terlihat dari dukungan donasi Denny terhadap program Rumah Jurnalisme, yang sedang dibangun oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI).

Program ini bertujuan merenovasi kantor AJI, serta membangun fasilitas baru untuk pelatihan jurnalisme, perpustakaan, hingga ruang publik.

AJI adalah organisasi profesi jurnalis yang memperjuangkan kebebasan pers dan kesejahteraan jurnalis. AJI didirikan pada era Orde Baru, sesudah pembreidelan tiga media –DeTik, Tempo, dan Editor—pada 21 Juni 1994.

Sejak berdiri, AJI telah membuktikan komitmennya pada nilai-nilai kebebasan, demokrasi dan HAM. Pers atau media massa sendiri adalah bagian dari civil society, yang berkontribusi pada penegakan demokrasi, sehingga disebut sebagai pilar keempat demokrasi.

Dukungan ke program Rumah Jurnalisme AJI hanya sebagai contoh saja, karena terlalu banyak aktivitas Denny lain yang berbasiskan nilai-nilai yang saya sebutkan di atas.

Semua itu dilakukan tanpa meninggalkan kiprah pada jenis filantropi lain, yang murni kemanusiaan. Seperti, donasi nyata Denny pada Yayasan Alzheimer Indonesia.

Yayasan ini melakukan edukasi dan sosialisasi tentang penyakit yang menghinggapi puluhan juta orang di dunia.

World Alzheimer Report memperkirakan pada 2015 bahwa terdapat 46,8 juta orang hidup dengan demensia di seluruh dunia. Prevalensi demensia pada orang berusia lanjut ≥60 tahun di Afrika Utara dan Timur Tengah berada di antara 5,75% hingga 8,67%.
Studi menunjukkan prevalensi demensia di provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (Indonesia) lebih tinggi (20,1%) dibandingkan dengan negara lain.

Dalam studi ini, sebagian besar responden berpendidikan rendah dan tinggal di daerah pedesaan.

Penulis berharap kegiatan filantrofi Denny JA bisa menjadi salah satu contoh yang baik dan menyebar. Tentu, selain Denny, banyak sosok lain di Indonesia yang dalam berbagai skala telah, sedang dan akan melakukan kegiatan filantrofi.

Juga banyak potensi filantrofi yang belum tergarap. Jika bisa diaktualisasikan, hal itu akan sangat membantu bangsa ini, yang sedang dicengkam oleh krisis pandemi. *