Sila Ke-5 Pancasila Nyata Terlihat Dalam Menghadapi Covid-19

Home / Opini / Sila Ke-5 Pancasila Nyata Terlihat Dalam Menghadapi Covid-19

 

 

Oleh: Arimbi Heroepoetri.,SH.LL.M

Direktur PKPBerdikari, Fellow MIT – UID Ideas 5.0, Staf Ahli Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR-RI).

 

Seminggu setelah pemerintah mengumumkan pasien Covid-19 pertama di Indonesia, awal Maret 2020, tiba-tiba saja di pasaran sulit ditemui masker, hand sanitizer dan alkohol. Jikapun ada harganya naik 10 kali lipat khusus untuk masker yang semula di kisaran harga Rp. 3.000 menjadi Rp. 30.000 per lembarnya. Sementara hand sanitizer dalam botol 60 ml semula di kisaran Rp. 8.000 meroket sampai sampai Rp. 25.000.  Kondisi ini ditemui di pasar Jakarta, di daerah-daerah lain sudah tidak mungkin ditemui. Masker semakin langka di pasar off line maupun on line, ketika pemerintah mengumumkan sebaiknya warga memakai masker untuk mencegah penyebaran covid-19. Alkohol pun demikian, bahan dasar untuk membuat hand sanitizer ini, sempat menghilang selama bulan Maret sampai awal April di pasar eceran.

Menghadapi situasi seperti ini, ternyata warga tidak kehilangan akal, mereka berinisiatif membuat masker dari kain sendiri dan berbagi tutorial bagaimana membuat masker yang baik. Masker kain ini dapat diproduksi dengan harga jual Rp. 5000 per lembar, jauh lebih murah dan mudah didapat.  Warga juga membuat hand sanitizer sendiri dengan panduan dari WHO (Organisasi Kesehatan Dunia) yang bahan dasarnya adalah alkohol di atas 60 persen. Warga patungan membeli alkohol per drum langsung dari pabrik kemudian memasukannya ke botol plastik 60 sd 100 ml.  Selama bulan Maret aktivitas pengadaan masker dan hand sanitizer banyak dilakukan oleh warga, yang kemudian membagi-bagikan kepada komunitas lain yang tidak memiliki akses kepada masker dan hand sanitizer. Masalah mulai muncul ketika, botol-botol plastik 100 ml menghilang di pasar, kemudian muncul dengan harga baru yang lebih mahal. Bayangkan semula harga  satu botol 100 ml adalah Rp. 3.500, tiba-tiba melangit sampa Rp. 15.000 per botol, itupun langka.

Seiring dengan jalannya waktu, aktivitas saling bantu ini meluas termasuk pengadaan disinfektan dan gerakan cuci tangan. Bahan dasar disinfektan adalah cairan pemutih baju, kembali hilang di pasar eceran, namun masih dapat ditemui di pasar on line walau harus membeli dalam partai besar, demikian juga sabun cuci tangan cair. Sekali lagi, warga patungan membeli dalam partai besar, kemudian membagi-baginya kepada yang membutuhkan. Gerakan cuci tangan dengan menyediakan sarana cuci tangan mulai berkembang.

Hestek “salingjagasalingasuh”,  “solidaritaswarga”, atau “maker4all” banyak berseliweran di sosial media. Gerakan membuat masker sendiri semakin masif, sehingga memaksa para penimbun masker untuk menjual kembali dengan harga normal. Apalagi, belakangan banyak pabrik konveksi yang beralih menjadi penghasil masker. Mereka yang mengisolasi diri secara mandiri, membangun  dukungan melalui sosial media. Gerakan Empu misalnya yang dimotori empat orang perempuan, semula adalah pekerja seni yang melakukan kampanye soal penghargaan atas kain nusantara dengan berbagai proses yang berwawasan lingkungan. Mereka memproduksi masker dengan kain alami, menjualnya secara on line, kemudian keuntungannya dibuat masker untuk dibagikan secara gratis kepada masyarakat yang membutuhkannya namun aksesnya terkendala, baik karena masalah biaya maupun geografis. Lama kelamaan gerakannya semakin membesar, ada yang menyumbang kain, menyumbang tenaga dan mesin jahit, selain menyumbang uang. Di Jakarta, ketika pemda DKI baru menyediakan sarana cuci tangan di daerah protokol, warga berinisiatif membuat sarana cuci tangan di depan rumahnya secara mandiri, maupun mengorganisir diri melalui RT/RW.

Mungkin yang paling fenomenal adalah konser didi kempot melalui Kompas TV 11 april lalu, yang mencapai  Rp. 5.3 miliar dengan total  30.230 orang donatur hanya dalam tiga jam konsernya. Alasan didi kempot melakukan konser amal itu adalah ia melihat banyak Sobat Ambyar (julukan untuk para penggemar didi kempot) yang mulai menderita karena pembatasan maupun mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) sebagai dampak Covid-19 ini. Yang mengharukan, para penyumbang konser Didi Kempot adalah orang kebanyakan, sesama Sobat Ambyar, mereka menyumbang di kisaran Rp. 10.000 sampai Rp. 100.000,-. Siapa sangka, ini adalah bakti pamungkas didi kempot sebelum meninggal dunia 5 Mei 2020 karena sakit jantung.

Sebulan sejak masa isolasi kemudian pemerintah menetapkan kondisi darurat bencana nasional yang pada akhirnya menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di wilayah-wilayah tertentu. Gelombang PHK mulai terjadi. Bentuk solidaritas warga kemudian beradaptasi dengan memberikan bantuan pangan, jauh sebelum pemerintah menerapkan bantuan pangan. Di Yogyakarta terbentuk Solidaritas Pangan Jogya, yang sampai sekarang sudah berdiri 11 dapur umum yang dikelola oleh masyarakat. Rata-rata setiap dapur mengelola 70 – 100 nasi bungkus setiap hari. Menariknya sumbangan pangan pun didapat dari petani, yang menyumbang beras, sayur-mayur dan hasil tani lainnya. Gerakan ini mengilhami warga di wilayah lain untuk melakukan hal serupa, seperti di Madura dan di Bali. Belakangan di Bali lahir gerakan TanamSaja yang menyerukan agar warga mulai menanam tanaman pangan di pekarangannya sebagai bahan cadangan pangan ke depan. Tidak hanya berhenti di seruan, tetapi mereka sudah membagi-bagi benih kepada yang mau menanam dan memeliharanya.

Selain itu partisipasi pengusaha juga mengharukan, selain ada yang menyumbang dalam partai besar masker, uang tunai, maupun Alat Pelindung Diri (APD) bagi tenaga kesehatan, ada juga pengusaha yang mati-matian berjuang untuk tidak melakukan PHK karyawannya karena mereka tidak bisa berusaha lagi. Industri yang telak terpukul karena pembatasan perpindahan warga adalah pariwisata dan industri turunannya (restoran, pemandu wisata, agen perjalanan,  cindera mata, seni pertunjukan dll). Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 (Satgas Covid-19) mencatat setiap harinya sumbangan masyarakat yang ditujukan ke satgas, per 9 Juni 2020 ini total sumbangan telah mencapai Rp. 231,26 Miliar. Partai-partai politik juga tidak ketinggalan membagi masker, hand sanitizer, disinfektan dan APD kepada pihak-pihak yang membutuhkan.

Berdasarkan survei di tahun 2017, Charity Aid Foundation melalui World Giving Index mencatat Negara Indonesia sebagai Negara paling dermawan di dunia. Kedermawanan Indonesia dengan skor 59 dinilai dari menolong orang asing yang membutuhkan, mendonasikan uang, dan menjadi sukarelawan. Solidaritas, gotong royong, dan berbagi ada di hati dan jiwa bangsa Indonesia. Penerapan sila ke-5 dari Pancasila benar-benar nyata terlihat di Indonesia ketika Indonesia mengalami Pandemi Covid-19.  Makna dari Sila ke Lima: “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” antara lain adalah menolong sesama, menghargai orang lain, suka memberi pertolongan kepada orang lain dan melakukan pekerjaan yang berguna bagi kepentingan umum dan bersama. Itulah jati diri bangsa Indonesia. Itu yang membuat Indonesia kuat (100620).