Utang Indonesia Aman

Home / Opini / Utang Indonesia Aman

Para pendiri bangsa Indonesia secara jelas telah menetapkan visi bangsa dalam pembukaan UUD 1945 yaitu menjadi bangsa yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Sebagai janji republik, cita-cita luhur ini tidak boleh hanya tercatat tapi harus selalu diupayakan oleh segenap anak bangsa dari waktu ke waktu.

Untuk mewujudkan itu semua, dibutuhkan dana yang tidak sedikit. Setelah merdeka dari penjajah, uang kas negara dalam keadaan kosong. Seusai membaca naskah proklamasi, Presiden Soekarno pulang ke rumahnya dengan berjalan kaki karena ketiadaan mobil dinas kepresidenan. Salah satu usaha untuk memenuhi kas negara, pada tahun 1946 pemerintah RI mengeluarkan surat utang negara yang disebut dengan Pinjaman Nasional. Pinjaman pemerintah kepada rakyat tersebut adalah utang pertama yang tercatat sejarah republik ini.

Dalam perjalanan setelah era kemerdekaan sampai saat ini, semua Presiden RI mengambil kebijakan untuk berutang dalam menambal defisit anggaran negara. Hal ini juga lazim dilakukan di negara lain, tercatat sampai saat ini ada 182 negara dari 196 negara di dunia yang berutang untuk menutup defisit kas negaranya.

Utang hanyalah bagian kecil dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) secara keseluruhan. APBN itu sendiri merupakan wujud dari kesepakatan bersama antara pemerintah dan rakyat yang diwakili oleh DPR, yang kemudian pelaksanaannya diawasi oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Secara berjenjang dilakukan pembahasan Rancangan APBN antara DPR bersama dengan Kementerian/Lembaga sesuai bidangnya masing-masing. Hasil kesepakatan tersebut kemudian dibawa ke Badan Anggaran DPR untuk dilakukan pembahasan bersama perwakilan Pemerintah. Terakhir, dokumen APBN ditetapkan sebagai undang-undang dalam Rapat Paripurna DPR yang harus memenuhi kuorum.

Di dalam APBN terdapat tiga unsur besar yaitu pendapatan, belanja dan pembiayaan. Bila pendapatan negara tidak mencukupi untuk belanja negara maka defisit tersebut ditutup melalui utang atau pembiayaan. Untuk itu, utang harus dapat dilihat sebagian bagian utuh APBN. Akan sangat keliru bila dilakukan pembahasan utang negara tanpa melihat keseluruhan bagian dari postur APBN dan kondisi perekonomian negara.

Contohnya adalah nilai nominal utang. Bila disebutkan angka utang Indonesia pada tahun 2018 sebesar Rp4.418,3 triliun maka akan terlihat sangat besar. Nilai tersebut akan menjadi biasa saja bila dibandingkan penghasilan negara yang tercermin dalam Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia sebesar Rp14,735.85 triliun. Sebagai perbandingan, utang pemerintah tersebut hanya sebesar 29,98 persen dari total produksi ekonomi Indonesia. Rasio utang terhadap PDB tersebut masih jauh dari yang diperbolehkan UU Keuangan Negara sebesar 60 persen.

Contoh lainnya, bila melihat penambahan utang tahun 2018 sebesar Rp423,05 triliun akan terlihat besar. Namun bila melihat perbandingan dengan yang lain, akan terlihat seimbang. Sejak 2014 sampai 2018 utang bertambah menjadi 169%. Namun penambahan tersebut telah membuat belanja infrastruktur dapat naik menjadi 226%, belanja kesehatan meningkat mencapai 196%, dan belanja untuk Dana Alokasi Khusus Fisik dan Dana Desa melonjak tajam menjadi 386%.

Dengan jumlahnya yang sangat besar, bukan berarti pemerintah tidak akan mampu membayar utang dan membuat Indonesia bangkrut. Bila dilihat dalam tahun anggaran 2018, defisit anggaran adalah 1,76 persen dari PDB (angka sementara) yang membuat pemerintah menambah utang. Namun pada tahun 2018 ekonomi Indonesia dapat tumbuh sebesar 5,15 persen. Artinya, terdapat kenaikan kapasitas ekonomi yang tumbuh melebihi bertambahnya utang. Dari data tersebut, dapat dikatakan bahwa kemampuan pemerintah untuk membayar utang dapat terjaga dengan baik.

Total utang tersebut juga tidak jatuh tempo serentak dalam satu tahun, pelunasan utang dilakukan berdasarkan waktu jatuh temponya. Secara keseluruhan, rata-rata jatuh tempo utang Indonesia adalah di atas delapan tahun. Sepanjang pertumbuhan ekonomi Indonesia cukup tinggi yang diiringi dengan pertumbuhan penerimaan negara yang meningkat, maka setiap tahun pemerintah dapat membayar kembali utang yang sudah jatuh tempo.

Sebagai contoh, pada tahun 2018, utang negara yang jatuh tempo adalah sebesar Rp501,3 triliun dan sudah dibayarkan seluruhnya. Nilai utang yang harus dibayar ini tercatat dalam UU APBN 2018 dan disetujui oleh DPR. Sejak era reformasi, Indonesia belum pernah gagal dalam membayar utangnya.

Sampai dengan akhir Desember 2018, dari total utang negara, komposisinya adalah rupiah sebesar 59% dan sisanya valuta asing sebesar 41%. Hal tersebut adalah dampak dari upaya pemerintah untuk meminimalkan risiko utang dengan mengutamakan pengeluaran utang pemerintah dalam Surat Berharga Negara melalui denominasi rupiah dan bersuku bunga tetap. Melalui komposisi yang didominasi oleh rupiah dan suku bunga tetap, risiko terhadap pelemahan nilai tukar dan perubahan suku bunga akan sangat kecil yang pada akhirnya berdampak pada penurunan biaya pengelolaan utang baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.

Utang juga harus dilihat dari penggunaannya dan manfaatnya bagi masyarakat. Dengan fokus pada pembangunan infrastruktur, peningkatan kualitas pendidikan dan kesehatan maka utang digunakan untuk hal yang produktif sehingga akan memperkuat ekonomi Indonesia serta dapat membayar kembali utang negara. Berdasarkan penelitian Bank Dunia, tingkat pengembalian untuk program pendidikan dasar rata-rata adalah sebesar 22,75 persen. Artinya dengan imbal hasil dari utang kita saat ini yang sebesar 8 persen untuk membuat anak-anak Indonesia dapat bersekolah, maka biaya utang 8 persen tersebut jauh lebih kecil dibandingkan manfaatnya.

Sebagai gambaran, sejak tahun 2015 alokasi dana pendidikan digunakan antara lain untuk Program Indonesia Pintar sebanyak 80,7 juta siswa, beasiswa bidik misi 1,36 juta siswa, beasiswa LPDP 17,8 ribu mahasiswa, Bantuan Operasional Sekolah 188,2 juta siswa dan juga digunakan untuk pembangunan/rehabilitasi 193 ribu ruang kelas.

Pemerintah juga tidak memberlakukan utang secara ugal-ugalan. Dalam UU APBN 2018 telah ditetapkan Rp399,2 triliun. Namun karena terjadi peningkatan realisasi penerimaan negara yang melampaui target, pemerintah hanya merealisasikan utang sebesar Rp366,7 triliun. Padahal bisa saja pemerintah tetap memaksakan utang sesuai yang ditetapkan UU, namun hal tersebut tidak dilakukan.

Kehendak baik pemerintah dalam mengelola utang secara profesional juga dapat dilihat dari kecenderungan defisit yang terus menurun. Defisit anggaran tahun 2014 yang sebesar 2,25 persen terhadap PDB dan secara berangsur-angsur menurun menjadi 1,76 persen pada tahun 2018. Kemampuan membayar bunga utang tanpa membuat utang baru juga terus meningkat. Hal ini tercermin dalam defisit keseimbangan primer yang menurun drastis dari Rp124,4 triliun di tahun 2017 menjadi Rp1,8 triliun pada 2018.

Hal di atas juga menunjukkan utang dapat berkurang secara perlahan apabila pendapatan negara dapat ditingkatkan. Saat ini kontribusi penerimaan pajak pada total pendapatan negara tahun 2018 adalah 94 persen. Oleh karena itu, peran serta masyarakat dalam membayar pajak sangat besar dalam menentukan besar kecilnya utang yang harus diambil pemerintah.

Pemerintah mengelola utang secara berhati-hati dan profesional sesuai UUD 1945. Dalam UUD 1945 pasal 23 disebutkan bahwa APBN harus dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab serta digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

APBN adalah alat mencapai visi republik dalam mencapai masyarakat yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Sesuai dengan cita-cita pendiri republik, kita semua bertanggung jawab dalam melaksanakan APBN demi kepentingan bersama. Dia tidak boleh dihianati sepeserpun, karena akan menciderai janji republik.

 

Nufransa Wira Sakti

Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kementerian Keuangan RI

*Artikel dimuat di Harian Kompas 6 Februari 2019 pada kolom opini