NawaCita dan Pemilu

Home / Opini / NawaCita dan Pemilu

 

Oleh: Arimbi Heroepoetri.,S.H.,LLM

(Pegiat Hukum, HAM, Masyarakat Adat, Lingkungan dan Perempuan, Direktur PKPBerdikari)

 

Jakarta, 23 April 2019

Asian Games ke-18 yang diselenggarakan di Jakarta dan Palembang awal September 2018, meninggalkan kesan manis bagi para penonton. Bukan saja karena upacara pembukaannya yang spektakuler dan menakjubkan, tetapi juga telah menempatkan Indonesia sebagai Juara ke-4, di bawah Tiongkok, Jepang dan Korea. Melejit jauh dibanding Asian Games ke-17 di Korea, yang ‘hanya’ menempatkan Indonesia sebagai Peringkat 17 dengan perolehan 4 medali emas, di bawah Malaysia, Singapura, Thailand dan Mongolia.

Rencana untuk berhasil dalam Asian Games telah masuk dalam agenda Nawacita 8 Revolusi Karakter Bangsa, dalam salah satu Program indikatif “Mendukung kegiatan budaya dan olah raga Indonesia di kancah internasional”. Untuk budaya, misalnya kemenangan Indonesia dalam berbagai Festival Paduan suara tingkat dunia cukup sering terdengar, sebut saja Paduan Suara the Resonanz Children’s Choir (TRCC) yang menjadi pemenang dalam European GP for Choral Singing, di Slovenia (April 2018),  sementara untuk olah raga beberapa peristiwa, seperti panjat tebing, sepak bola, wushu dan lari jarak pendek. Bedanya, kebanyakan keberhasilan di bidang budaya di atas adalah usaha warga dengan sedikit campur tangan Negara/pemerintah, sementara di bidang olah raga campur tangan Negara lebih kentara.

Keberhasilan di Asian Games ke-18 memang merupakan pekerjaan besar bersama, mulai dari para pekerja seni dan organisasi-organisasi induk olah raga, namun tidak akan terjadi tanpa dukungan pemerintah, dan yang utama tanpa adanya kepemimpinan yang kuat.

Bagaimana dengan Pemilihan Umum (Pemilu)? Pemilu juga merupakan pekerjaan besar bersama yang bahkan melibatkan lebih banyak orang ketimbang Asian Games. Pemilu serentak kali ini yang dimulai sejak 4 Agustus 2018 sampai 17 April 2019 berlangsung hampir delapan bulan lamanya.  Primadonanya adalah peserta  pemilihan presiden (pilpres), yaitu Joko Widodo  dengan nomor undian 01 dan Prabowo Subianto dengan nomor 02, yang telah menenggelamkan perhatian masyarakat untuk calon-calon legislatif (caleg) yang sebenarnya bertaburan artis dan tokoh terkenal.

Pemilu sekarang menjadi semarak, melibatkan lebih banyak pelaku ketimbang jaman Soeharto di mana  partai politik peserta pemilu hanya  tiga, kedudukan dalam DPR/MPR sudah diatur dan presiden selalu calon tunggal, sehingga dipastikan soeharto akan terpilih kembali sebagai presiden.

Inilah kali ketiga, Indonesia melakukan pemilihan langsung untuk Presiden. Namun untuk pertama kalinya melakukan pemilu serentak untuk pasangan Presiden dan Wakil Presiden dengan pemilihan legislatif di setiap tingkatnya. Proses kampanye diikuti oleh 16 Partai Politik, empat diantaranya merupakan partai politik baru, yaitu Partai Garuda (Gerakan Perubahan Indonesia), Perindo (Partai Persatuan Indonesia) , PSI (Partai Solidaritas Indonesia) dan Partai Berkarya.

Buah dari reformasi, paska jatuhnya soeharto, adalah perubahan drastis dalam sistem pemilu. Ditandai dengan menjamurnya partai-partai politik baru peserta pemilu, dan diterapkannya pemilihan langsung untuk jabatan di parlemen, kepala pemerintahan dan kepala Negara. Presiden tidak lagi dipilih oleh MPR, tetapi langsung oleh rakyat. Sementara MPR, juga langsung dipilih oleh rakyat. Kita masih ingat presiden pertama hasil pilihan rakyat langsung adalah Soesilo Bambang Yudhoyono.

Dalam Nawacita 2 : tentang Tata Kelola Pemerintahan yang Bersih, Efektif, Demokratis, dan Terpercaya. Salah satu targetnya adalah “memulihkan kepercayaan publik melalui reformasi sistem kepartaian, Pemilu dan lembaga perwakilan”.

Pemilu kali ini mencatat 193 juta warga yang berhak memilih, dan mampu menyerap sampai 80 persen partisipasi dari pemilih alias 152 juta suara. Jika mengkutip pernyataan Denny JA, pendiri LSI salah satu pelaku Quick Count, Pemilu kali ini juga mencatat tingkat golput sangat rendah, hanya 19,24%. “Ini adalah tingkat golput terendah dalam sejarah pilpres di era reformasi. Sebelumnya, pada Pilpres 2004, 2009, dan 2014, angka golput sebesar 25-30%” Ungkap Denny JA.  Laporan dari TPS di luar negeri menunjukan antusias warga untuk terlibat.  Mereka rela antri berjam-jam ataupun meminta cuti dari pekerjaannya untuk dapat menjalankan hak dan kewajibannya. Di negeri yang masih mengalami musim dingin, bahkan mereka rela antri melawan cuaca yang kurang bersahabat. Di Sidney terpantau antrian mencapai 1 km. Di Jakarta, banyak pendatang yang sengaja pulang kampung agar mereka bisa ikut Pemilu. Di berbagai pelosok negeri, dikabarkan warga rela menempuh perjalanan panjang dengan berjalan kaki, bahkan bermalam menuju TPS terdekat. Tercatat TPS menjangkau 74.957 desa.

Masyarakat juga lebih antusias terlibat dalam Pemilu. Pembicaraan tentang politik menjadi bahan percakapan baru  dalam lingkup kehidupan keseharian mereka. Pemilu sekarang juga tidak lagi didominasi ‘perang’ melalui spanduk, tetapi  produksi ribuan kaos yang disainnya harus menarik mata (eye-catching), pilihan kata-kata kampanye juga harus kena di hati dan mudah diingat. Para produsen kaos beserta pekerjanya banjir pesanan, dan setiap hari secara tidak sadar mereka terpapar dengan jargon yang termuat dalam kaos yang mereka produksi. Pemilu mendorong geliat ekonomi. Disain kaos favorit segera saja mendapatkan pasarnya sendiri, masyarakat dengan mudah dapat memesannya di pasar on line.

Indikator di atas menunjukan tingkat kepercayaan publik yang tinggi terhadap Pemilu. Sehingga dapat dikatakan Pemilu kali ini telah memenuhi target Nawacita 2.

Pemilu 2019 yang akan memilih Presiden dan Wakil Presiden, 575 Anggota DPR, 136 anggota DPD, 2207 anggota DPRD Propinsi dan 17.610 anggota DPRD Kabupaten/Kota, baru saja usai 17 April 2019 lalu. Kedudukan yang diperebutkan 7968 caleg DPR, dari 16 parpol (plus 2 Parpol daerah di Aceh), belum termasuk mereka yang bertarung di tingkat DPRD propinsi dan Kabupaten serta DPD. Walaupun beberapa lembaga penyelenggara perhitungan cepat (quick count) telah memberikan bayangan siapa pemenangnya, namun KPU (Komisi Pemilihan Umum) sendiri akan mengeluarkan hasil perhitungan suara pada tanggal 22 Mei 2019 nanti.

Selanjutnya cerita bagaimana mengelola 809.500 TPS di di 130 kota di dunia,  di 34 propinsi, 416 kabupaten dan 98 kota, 7094 kecamatan, 8480 kelurahan, menjadi cerita kedisiplinan, ketelitian dan dedikasi kerja yang melibatkan 14.014 petugas KPPS  (Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara). Merekalah ujung tombak Pemilu, mereka mengecek kesahihan surat suara, menghitung suara masuk sampai selesai, melakukan verifikasi surat dan mengecek keamanan surat-surat suara serentak pada tanggal 17 April 2019 di seluruh Indonesia. Sebelum semuanya selesai, mereka tidak boleh beristirahat ataupun diganti. Karena itu kabar banyak petugas kelelahan bahkan meninggal dalam menjalankan tugasnya bermunculan. Kepada mereka ujung tombak para penjaga demokrasi Indonesia sepatutnyalah diberi hormat setinggi-tingginya.

Kagum kepada mereka yang berani menjadi caleg yang memperebutkan kursi MPR/DPR/DPD. Tentu saja banyak alasan yang menyebabkan mereka terpanggil untuk bertarung di pemilu ini, namun ketika mereka sudah memilih menjadi caleg, mereka harus terjun ke masyarakat untuk meyakinkan masyarakat memilih mereka, dengan cara apapun. Banyak yang pesimis bahwa ini hanyalah ritual lima tahunan yang tidak berguna. Tapi bagi saya kali ini demokrasi telah menunjukan geliatnya di Indonesia.

Bayangkan ada 20,000-an caleg di seluruh Indonesia harus blusukan ke masyarakat, mengatur strategi, berkomunikasi, berdialog, selama hampir 8 bulan masa kampanye ini. Untuk mendukung pekerjaannya, ia perlu bekerja dan membangun tim, karena ia tidak bisa bekerja sendirian. Sehingga Pemilu kali ini melibatkan banyak orang, dari berbagai lapisan masyarakat. Bukankah ini pendidikan politik yang nyata? Dilain pihak siapapun dapat mengorganisir dirinya, membentuk kelompok untuk menyatakan dukungannya kepada pilihan politik mereka. Karena itu, dapat membuka sekat dan menggerus elitism dalam pemilu.

Menjadi caleg bukan lagi harus dari trah ‘biru’ (kaya, tentara,turunan atau dekat dengan penguasa), tetapi bisa siapa saja. Pemilu tidak lagi menjadi pesta demokrasi bagi elit.  Baik pertahana maupun pendatang baru harus bekerja keras mengkampanyekan dirinya, tidak ada jaminan pertahana dapat terpilih kembali seperti di masa lalu.

Indonesia dapat menyelesaikan rangkaian pemilu dengan damai, maka Indonesia telah berhasil menerapkan pondasi demokrasi dengan kokoh. Karena Pemilu tidak hanya tentang Caleg dan Capres dengan konstituennya, tetapi juga berhubungan dengan penyiapan infrastrukturnya, seperti  pemutakhiran data penduduk, pembentukan KPU, dan BAWASLU di  tingkat pusat dan daerah, serta penetapan TPS beserta pengadaan kotak suara. Maka, jika biaya pemilu kali ini mencapai Rp. 24,8 triliun, itulah harga pendidikan politik bagi seluruh rakyat Indonesia. Pemilu bukan hanya sekedar pesta demokrasi, tetapi juga pendidikan politik bagi segenap rakyat Indonesia.

Pemenuhan janji dalam Nawacita telah ditunaikan. Segenap bangsa Indonesia harus bersyukur Pemilu kali ini sudah berjalan dengan baik.  Ucapan selamat patut dialamatkan kepada seluruh rakyat Indonesia, kepada petugas keamanan, dan terutama kepada para penyelenggara Pemilu. Kita telah menjalankan dan meneguhkan pilar demokrasi, dan  menegakkan kepala kita kepada Negara-negara sahabat, bahwa bangsa Indonesia mampu menjalankan pemilu dengan damai dan adil yang membuka jalan bagi kestabilan Negara untuk terus membangun negeri.