Omnibus Law

Home / Artikel / Omnibus Law

 

Oleh : Arimbi Heroepoetri.,SH.LL.M

(Pegiat Hukum, HAM, Masyarakat Adat, Lingkungan dan Perempuan, Direktur PKPBerdikari dan Peneliti Senior pada debtWATCH Indonesia)

 

20 Februari 2020

Dalam pidato pelantikannya sebagai presiden RI ke-8 di depan anggota parlemen (20/10/2019), Joko Widodo pertama kalinya memperkenalkan istilah Omnibus Law (OL). “Segala bentuk kendala regulasi harus kita sederhanakan, harus kita potong, harus kita pangkas,” demikian ujarnya. “Pemerintah akan mengajak DPR untuk menerbitkan dua undang-undang besar. Pertama, UU Cipta Lapangan Kerja. Kedua, UU Pemberdayaan UMKM,” tambahnya. Pernyataan Jokowi ini menimbulkan tanggapan dari berbagai pihak, karena istilah Omnibus Law adalah istilah hukum yang jarang digunakan dalam teori maupun praktik hukum di Indonesia, apalagi di telinga orang awam.

Berbagai diskusi, pertemuan ilmiah dan seminar mulai digelar masyarakat untuk memahami lebih lanjut tentang Omnibus Law ini. Dari pihak pemerintah kebanyakan adalah pernyataan pejabat yang semakin membuat penasaran, seperti “Omnibus Law akan memangkas rantai perizinan, meniadakan IMB dan AMDAL”.  Karuan saja, pernyataan ini mengkhawatirkan  para pegiat lingkungan.

Kejelasan mengenai Omnibus Law mulai nampak ketika DPR dalam sidang paripurna Januari 2020 menetapkan 50 RUU yang masuk dalam Prolegnas Prioritas 2020, empat diantaranya adalah RUU Omnibus Law, yaitu: RUU tentang Kefarmasian; RUU tentang Cipta Lapangan Kerja; RUU tentang  Ketentuan dan Fasilitas Perpajakan untuk Penguatan Perekonomian; dan RUU tentang Ibu Kota Negara. Hanya RUU tentang Kefarmasian yang adalah inisiatif DPR, sisanya merupakan insiatif dari Pemerintah.

Dari empat RUU Omnibus Law di atas, nampaknya yang paling menarik perhatian adalah RUU Cipta Lapangan Kerja, disusul dengan rencana Ibu Kota Negara. Dua RUU lainnya sepi dari perhatian, bahkan RUU Kefarmasian sama sekali tidak pernah disebut. 12 Pebruari 2020 secara resmi pemerintah memberikan Naskah Akademis dan teks RUU Cipta (Lapangan) Kerja ke DPR.[1]

Tidak tanggung-tanggung untuk Naskah Akademis terdiri dari 2276 halaman, sedangkan RUU Cipta Kerja terdiri dari 1028 halaman  atau 174 pasal. Sungguh bukan pekerjaan yang mudah bagi para perancang undang-undang (legal drafter) untuk merancang RUU demikian tebal, demikian juga untuk mempelajari dan memahami latar belakang lahirnya RUU termaksud yang biasanya tertuang dalam sebuah Naskah akademis, apalagi membandingkan isi naskah akademis dengan substansi RUU.

Dalam konteks inilah, pemerintah seperti  menepikan partisipasi publik dalam perancangan UU, karena dokumen Naskah Akademis dan RUU baru didapat publik setelah diserahkan pemerintah ke DPR. Ada jarak tiga bulan sejak diumumkan oleh Presiden di bulan Oktober 2019 sampai diserahkan Pemerintah di bulan Januari 2020 yang sebenarnya dapat dipakai untuk sosialisasi ke para pemangku kepentingan, sehingga kesalah-pahaman maupun ketidak-mengertian mengenai substansi RUU dapat dihindari.

Omnibus Law RUU Cipta Kerja

Alasan lahirnya RUU ini adalah perlunya penciptaan lapangan kerja bagi 45,84 juta jiwa pencari kerja. Walau angka pengangguran menurun setiap tahunnya, namun pada faktanya dari 127 juta jiwa angkatan kerja kita kebanyakan diserap oleh sektor informal (75 juta), di mana didalam sektor informal tersebut termasuk kategori pekerja serabutan atau pekerja paruh waktu.[2] Di pihak lain aturan mengenai pekerja maupun pengusaha di sektor informal tersebar di berbagai peraturan perundang-undangan bahkan boleh dikata nyarisd tidak ada.

Omnibus Law adalah metode yang digunakan untuk mengganti dan/atau mencabut ketentuan dalam UU, atau mengatur ulang beberapa ketentuan dalam UU ke dalam satu UU (termatik). Demikian penjelasan pemerintah mengenai Omnibus Law, walau tidak jelas benar apakah yang akan dicabut keseluruhan UU atau hanya beberapa pasal dalam UU tersebut. Namun demikian, salah satu alasan mengapa memakai metode Omnibus karena pada faktanya peraturan perundang-undangan kita sudah sampai tahap obesitas, berlebihan bahkan sering tumpang tindih, yang satu menegasikan yang lain, dan tidak implementatif.  Menurut Kemenhukham,  sekarang ini ada 8.451 peraturan pusat dan 15.965 peraturan daerah yang masih berlaku.

 

Dalam Omnibus Law RUU Cipta Kerja, ada 11 Cluster Pembahasan yang meninjau kembali 79 UU meliputi 1.239 pasal. 11 Cluster tersebut adalah:

I. Penyederhanaan Perizinan Berusaha
II. Persyaratan Investasi
III. Ketenagakerjaan
IV. Kemudahan pemberdayaan dan perlindungan UMKM
V. Kemudahan berusaha
VI. Dukungan Riset dan Inovasi
VII. Administrasi dan pemerintahan
VIII. Pengenaan sanksi
IX. Pengadaan Lahan
X. Investasi dan proyek pemerintahan
XI. Kawasan ekonomi

Selain masalah partisipasi masyarakat dalam perancangan UU, RUU Cipta Kerja ini juga dipermasalahkan dari segi substansi. Setidaknya Cluster I. tentang penyederhanaan perizinan berusaha akan mensasar 50 UU, dan Cluster IX. Mengenai Pengadaan Tanah, banyak mendapat kritikan dari berbagai organisasi masyarakat sipil. Sementara kelompok buruh mempertanyakan tentang hak-hak dasar buruh yang berpotensi tergerus.

Bagaimana suara pengusaha? Dalam sebuah diskusi terbatas dengan beberapa pengurus KADIN terungkap bahwa yang diperlukan memang iklim berusaha yang transparan dan akuntabel, tidak sewaktu-waktu berubah karena pejabatnya berganti. Masalah tingkah laku pejabat di daerah yang tiba-tiba mengeluarkan aturan hanya untuk menaikan pendapatan daerah tanpa memahami konteks masih sering terjadi.

Terlepas dari hiruk-pikuk menerima atau menolak RUU Cipta Kerja ini, ada permasalahan mendasar yang dijadikan alasan lahirnya RUU ini, namun luput dari perdebatan yaitu: bagaimana tentang kecenderungan peraturan kita yang obesitas? Bagaimana sektor UMKM diatur? Serta bagaimana nasib 45 juta tenaga pencari kerja ke depannya? Mereka yang bekerja di sektor informal paruh waktu, para orang muda pencari kerja baru, dan para penganggur. Apakah akan terus menjadi beban sosial dan ekonomi, atau menjadi tenaga produktif penyumbang pembangunan negeri. Pemerintah telah menjawabnya dengan Omnibus Law RUU Cipta Kerja.  

 

[1] Pada akhirnya judul yang dipakai adalah “Cipta Kerja” bukan “Cipta Lapangan Kerja”
[2] Data tahun 2019: Pengangguran= 7,05 juta; Angkatan Kerja Baru = 2,24 juta; Setengah Penganggur= 8,14 juta jiwa; Pekerja Paruh Waktu= 28,41 juta; Total = 45,84 juta.