Ada Tommy Suharto Dibalik Perilaku Politik Ade Armando dan Grace Natalie

Home / Opini / Ada Tommy Suharto Dibalik Perilaku Politik Ade Armando dan Grace Natalie

Oleh: Anton DH Nugrahanto

Saat ini sedang ramai Ade Armando keluar dari Cokro TV alasannya karena dilarang pendiri Cokro TV untuk tidak downgrade PDIP dan Ganjar Pranowo. Lalu ada statemen dari Grace Natalie setelah kedatangan Prabowo ke markas PSI, kalau dengan Gerindra malah didatangi, sementara dengan PDIP dia harus merangkak-rangkak. Apakah benar semua itu?, apakah tidak ada skenario politik dibalik ucapan mereka yang membangun playing victims, merasa di dzolimi PDIP? Kalau memang PSI mau kerjasama, mengapa Ade Armando dan Grace secara beruntun menghajar PDIP? Apk bisa terima logika, disatu sisi mau kerjasama namun halaman depannya menghajar Megawati dan PDIP dengan segala cara?

Di balik serangan gencar Ade Armando, hubungan kebatinan beberapa elit yang waras di PSI seperti Raja Antoni sebenarnya baik-baik saja. Tapi kenapa hanya Grace Natalie dan Ade Armando getol sekali menyerang PDIP. Jawabannya adalah karena Tommy Suharto dan Jeffrie Geovani.

Atas arahan Tommy Suharto-lah, Grace Natalie kemudian getol menyerang PDIP yang kemudian eksekusi opininya dilakukan Ade Armando. Tommy yang gagal meloloskan partai berkarya ke KPU melakukan backdoor listing politik kampanye Pemilu 2024 lewat PSI. Kini praktis seluruh kantor PSi muncul atas kawin siri dengan Berkarya dibawah komando Tommy. Dampaknya, penguasaan komando PSI ada di tangan Tommy Suharto. Sedikit saja PSI melawan Tommy, mereka akan terusir dari Kantor Berkarya.

Akuisisi senyap PSI oleh Berkarya dilakukan tangan kanan Tommy Suharto, Andi Badarudin Picunang yang dulu menjabat Sekjen Partai Berkarya, dengan dalih bedol desa Berkarya ke PSI, Andi Picunang menguasai infastruktur manajemen politik PSI bahkan ia diserahi posisi Ketua Dewan Pembina PSI. Untuk itulah Tommy Suharto menyerahkan beberapa kantor Partai Berkarya untuk digunakan PSI, dan sejak penyerahan kantor itu dikatakan PSI tidak punya kedaulatan politiknya dan praktis dikuasai Tommy Suharto.

Awalnya PSI adalah Partai bernafaskan semangat muda dimulai dari kongkow anak-anak muda di kafe yang membahas politik kekinian dan membawa isu liberalisme, humanisme, progresivisme, hak minoritas dan humanisme tapi karena ambisi pendanaan dan penguasaan jalur-jalur logistik Partai yang agresif dengan memanfaatkan gelontoran duit konglomerasi, semangat muda itu kemudian luntur.

Nama PSI tak bisa dilepaskan dari peran Jeffrie Geovanie, mantan anggota DPR dari Golkar dan dikenal kalangan politisi tingkat atas sebagai ‘ahli lobbying’ terutama melobi soal pendanaan politik. Strategi politik PSI saat itu dibagi dua sel yang saling berpisah, sel pertama dibentuknya jaringan pendanaan dikomandani Jeffrie Geovanie dan kedua sel strategi politik dilakukan oleh Grace Natalie dan Raja Juli Antoni.

Dalam strategi pendanaan Jeffrie mendapatkan pendanaan politik lewat grup bisnis Djarum, Gajah Tunggal dan Kelompok bisnis jaringan hotel Harris. Deal-deal pendanaan untuk PSI antara Jeffrie Geovanie dengan beberapa penghubung grup-grup bisnis besar itu kerap dilakukan di Singapura.

Sementara Grace Natalie melakukan strategi politik ‘Penunggangan isu’ dimana PDIP menjadi isu besar jalan politik strategis mereka. Dimulai dari isu naiknya Jokowi menjadi Presiden sampai isu besar Ahok, PSI menunggangi arah politik PDIP seraya menggebuki PDIP dengan beberapa opini yang menyudutkan. Hal ini dilakukan agar PSI mendapatkan pengalihan pemilih Nasionalis dari PDIP terutama dari kalangan anak muda-nya.

Tapi strategi ini tidak efektif terutama soal merebut massa PDIP, karena dibiayai-nya PSI oleh jaringan konglomerat bocor ke publik. Bahkan ada olok-olok saat itu nama PSI dilekatkan oleh publik sebagai “Partai milik Djarum”. Nama buruk PSI inilah yang kemudian menggagalkan PSI lolos ke Parlemen pada 2019 karena opini publik sudah terlanjur buruk soal kaitan PSI dengan oligarki bisnis. Juga publik menilai tidak sesuainya perbuatan dan perkataan PSI.

Gagalnya PSI ke Parlemen membuat beberapa pendana kecewa dan mengancam cabut dari pendanaan politik PSI. Sementara PSI butuh operasional harian terutama kebutuhan kantor politik, disinilah kemudian Tommy Suharto masuk dan ini agak ironis karena Tommy Suharto yang mendukung ‘Kebangkitan Orde Baru’ dan Suhartoisme sebenarnya berlawanan dengan nilai-nilai PSI yang awalnya diperjuangkan terutama soal demokrasi sosial.

Tommy Suharto kemudian memenuhi kebutuhan operasional PSI dan manajemen logistik PSI dengan tugas awal agar PSI mendukung Prabowo dan menyerang PDIP. Dua hal yang senang hati diterima Grace Natalie.

Tapi skenario pengganyangan PDIP oleh Grace Natalie dan Ade Armando justru mendapatkan hambatan dari internal PSI. Skenario politik Grace dan Ade Armando menyerang PDIP dan Ganjar justru dibongkar oleh Guntur Romli, kader penting PSI yang bergabung ke PSI karena membela Ahok dan kini menjadi relawan pemenangan Ganjar. Berbeda dengan Grace dan Ade Armando yang cenderung baru dalam pertarungan melawan kelompok radikal bisa dibilang mereka muncul di jaman Ahok, Guntur Romli adalah pemain lama dalam perkelahian dengan kelompok radikal bahkan dimulai sejak awal tahun 2000-an di masa Gus Dur getol-getolnya melawan FPI. Guntur Romli bisa dibilang orang yang paling paham soal pemetaan kelompok radikal karena itu dia menentang PSI bekerjasama dengan Prabowo dan Tommy Suharto. Karena Prabowo dan Tommy Suharto dianggap Guntur Romli sebagai patron penting pelindung kelompok agama radikal.

Latar belakang aksi Ade Armando dalam menyerang PDIP juga sudah diketahui oleh para pendiri Cokro TV bahkan mereka sudah mengendus kerjasama politik antara Grace Natalie dengan Prabowo dan Tommy Suharto, sebuah kerjasama politik yang tidak sehat dan berlawanan dengan nilai-nilai dari Cokro TV yang mengedepankan masyarakat plural, toleransi, demokrasi sosial dan humanisme. Di titik inilah Ade Armando dikeluarkan oleh Cokro TV.

Ade Armando yang terasing dengan pemikiran Sukarno, terasing dengan nafas perjuangan politik PDIP justru gampang dimanipulasi jalannya pikirannya oleh Grace yang dimanfaatkan oleh Tommy Suharto. Bahkan dengan brutal Ade Armando menuduh Megawati menjalani klenik, padahal apa yang dituduhkan Ade Armando adalah ucapan Kyai As’ad Syamsul Arifin soal Bung Karno. Dengan mengata-ngatai itu apakah Ade Armando juga menuduh sesepuh NU menjalani klenik? Juga dalam bukunya Rosihan Anwar, diceritakan soal Pak Kiyuk atau Soebadio Sastrosatomo tokoh penting PSI Sjahririan menanyakan pada Megawati saat situasi genting melawan Suharto sekitaran tahun 1995, saat itu Megawati berkunjung ke rumahnya di Jalan Guntur, Pak Kiyuk bertanya “Bagaimana dengan Bapak?” ini artinya Soebadio sendiri percaya hal-hal supranatural padahal Soebadio adalah tokoh penting dalam partai berwatak rasional-ilmiah.

Melihat perilaku politik ini dipertanyakan apakah Grace dan Ade Armando tegak lurus pada Jokowi atau tegak lurus pada pemodal? Dan sebagai Partai yang menebah dadanya sebagai anti korupsi dijamin PSI bungkam seribu bahasa soal penyimpangan anggaran di Kemenhan, korupsi food estate, penyalahgunaan Komcad untuk kepentingan Prabowo, penyalahgunaan pesawat tempur untuk jalan sehat Prabowo. Jadi ketika PSI harus mengunci mulutnya atas kasus korupsi di Kemenhan, maka terbukti, oligarki dan kekuatan Sang Pangeran Tommy Soeharto lah yang kini tertawa senang.

Untuk kasus-kasus itu sepertinya “Berlalu dengan angin, Gone with the wind…