Covidiots Dalam Era Covid-19

Home / Opini / Covidiots Dalam Era Covid-19

 

Oleh: Arimbi Heroepoetri.,SH.LL.M

(Direktur PKPBerdikari, Fellow MIT – UID Ideas 5.0, Staf Ahli Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat RI)

 

Semangat gotong – royong, dan saling membantu warga Indonesia selama pandemik  corvid-19 ini telah teruji nyata, implementasi dari Sila ke-lima Pancasila. Dimulai dari membuat dan membagi-bagikan masker, hand sanitizer, disinfektan, sabun cuci tangan, sampai memberikan bantuan pangan kepada mereka yang tidak teruntungkan sebagai dampak dari pembatasan gerak. Para penyumbangnya bisa siapa saja, orang kebanyakan yang hanya mampu menyumbang uang tunai Rp. 10.000,- sampai pengusaha besar yang mampu menyumbang beras sampai 1 ton per hari, atau  jutaan masker. Mereka yang tidak mampu menyumbang uang tunai, ikhlas menyumbangkan tenaganya  untuk menjadi relawan dapur umum atau pengantar bantuan pangan ke rumah-rumah.

Namun pada saat yang sama ada saja warga yang bersikap tidak peduli, berpikiran sempit, dan mementingkan diri sendiri. Sikap ini tidak berhubungan dengan keyakinan, wilayah, latar belakang sosial, kekayaan, usia, ataupun tinggi rendahnya jenjang pendidikan. Berbagai macam tingkah polahnya, ada yang beramai-ramai mengusir petugas medis dari tempat kost-nya karena takut tertular Covid-19, atau mereka yang masih diduga terinfeksi Covid-19, kadang bekerja sama dengan pemilik kost-nya. Ada yang tidak mengaku sebagai PDP (Pasien Dalam Pengawasan) ke dokter ketika ia sakit. Sehingga menularkan ke dokter yang merawatnya, tercatat beberapa dokter – yang tidak menangani pasien Covid-19,meninggal karena tertular pasiennya.

Ada pasien yang sudah melalui test terbukti terinfeksi Covid-19, ngotot meminta pulang sampai menyandera perawat yang mencegahnya ke luar ruang isolasi, ada ketua RT yang menolak penguburan warganya di wilayahnya yang meninggal karena terinfeksi Covid-19, ada warga yang menolak protokol penguburan pasien covid-19, sehingga mereka mencuri jasad keluarganya dari rumah sakit, dan menguburkannya dengan cara biasa: dimandikan, dishallatkan bersama, tanpa pelindung diri. Bahkan ada yang rela bergerombol dalam masa PSBB (Pembatasan Sosial Berkala Besar) untuk sekedar merayakan penutupan restoran cepat saji yang sudah puluhan tahun beroperasi. Ini di luar kerumunan warga yang mengantar panutannya yang terinfeksi covid-19 yang dijemput petugas kesehatan yang lengkap dengan APD-nya, bukamn hanya berkerumun, bahkan ada yang mencium tangan dan memeluk, ketimbang mendoakan dari kejauhan.

Belum lagi yang tidak meyakini Covid-19 itu ada, menurut mereka Covid-19  hanyalah konspirasi para pedagang APD/ Alat Pelindung Diri, produsen mesin kesehatan dan penjual vaksin, atau mereka yang meyakini bahwa hidup-mati itu di tangan Tuhan, sehingga hidup dan bersikap seperti biasa sebelum Pandemik Covid-19 terjadi. Termasuk mereka yang menimbun masker, dan hand sanitizer sementara kedua barang ini sangat dibutuhkan masyarakat.  Sikap ini yang disebut Covidiots. Covidiots terinspirasi dari Covid-19 yang memunculkan tabiat buruk sebagian orang yang panic menghadapi wabah ini. Tentu saja covidiots belum masuk kamus resmi manapun.

Cerita di atas menyebar di hampir seantero negeri ini. Kini setelah tiga bulan berlalu, setelah angka orang yang terinfeksi mencapai 38 ribu, dan, dan jumlah orang yang terinfeksi setiap harinya secara nasional terus naik,  serta setelah jumlah orang meninggal karena Covid-19 lebih dari 2000 orang. Kisah covidiot juga terus berlanjut. Testimoni, foto orang berkerumun, berdesak-desak, tamasya bersama, perayaan ulang tahun, temu kangen, nongkrong, atau sekedar ngopi cantik bersebaran di media massa dan sosial media.

Entah mengapa ini bisa terjadi. Jikapun ada yang memiliki kesadaran, secara sukarela menjalankan protokol kesehatan. Isolasi diri, menghindari kerumunan, memakai masker jika keluar, tidak bersentuhan dengan orang lain, jika kembali ke rumah mencuci baju, mandi dan mengelap barang-barang yang dari luar, ternyata tidak semua orang mampu menjalankannya. Ada yang tidak mampu menjalankannya karena memang tidak punya rumah, ada yang tidak mampu menjalankannya karena sekedar tidak mau tinggal di rumah. Kisah pilu beberapa anggota keluarga meninggal dalam kurun waktu seminggu sesudah merayakan ulang tahun sesepuhnya, atau pesta perpisahan perusahaan, atau sekeluarga yang terinfeksi dan meninggal setelah mengunjungi mertuanya akhirnya sekedar menjadi catatan, tidak mampu mengurai derasnya kelakuan nyeleneh para covidiots itu.

Di luar kelompok covidiots dan kaum rebahan (sebutan mereka yang persisten tinggal di rumah), ada kelompok masyarakat  lain yang paham dan sadar akan bahaya Covid-19 serta kiat pencegahannya, namun tidak mampu menahan bendungan tekanan sosial. Mungkin rasa tidak enak dengan keluarga sendiri maupun teman akrabnya.  Menjaga jarak, tidak bersalaman ataupun memeluk dapat dianggap sebagai perilaku sombong dan tidak menunjukkan rasa hormat. Atau ibu yang memiliki bayi, yang tidak bisa menolak ketika orang disekelilingnya gemas ingin mencubit, mencium ataupun menggendong bayinya, tidak mampu mengatakan tidak, karena merasa tidak enak.

Covidiots dan mereka yang masih ragu dan merasa tidak enak, berpotensi besar menghalangi usaha pemutusan mata rantai penularan Covid-19. Terhadap mereka ada dua tindakan yang perlu dilakukan. Pertama, penegakan hukum, terutama ditujukan kepada aksi warga yang membahayakan, seperti menyerang petugas medis, dan mengambil paksa jenazah. Kedua, tindakan persuasif dan memberikan informasi terus-menerus untuk mengingatkan dan meyakinkan mereka akan bahaya Covid-19. Mari bersama-sama kita jaga kesehatan kita untuk kepentingan bersama.