Tata Tertib Berbusana di Sekolah Negeri

Home / Artikel / Tata Tertib Berbusana di Sekolah Negeri

Oleh : Arimbi Heroepoetri.,SH.LL.M

(Pegiat Hukum, HAM, Masyarakat Adat, Lingkungan dan Perempuan, Direktur PKPBerdikari)

 

Jakarta, 4 Februari 2020

Di penutup tahun 2019, ada dua berita di seputar SD Negeri. Pertama Sri Mulyani, Menteri Keuangan mengajar di SDN 09 Kenari, Jakarta (4/10). Kedua, berita tentang robohnya SD Negeri Gentong di Pasuruan, Jawa Timur (5/10).  Kedua berita tersebut ditayangkan di televisi, sehingga terlihat gambar di dalam kelas SDN 09 Kenari Sri Mulyani sedang berdiri di depan para murid yang duduk, sedang di SDN Gentong terlihat para murid bergerombol di luar kelas yang roboh. Selain itu saya malah tertarik dengan pemandangan bahwa hampir seluruh siswi –jika tidak semuanya—mengenakan jilbab. Terus terang, tayangan ini mengusik saya, mengingat kedua SD tersebut adalah sekolah negeri, artinya dikelola oleh pemerintah.

Adalah kewajiban pemerintah untuk memenuhi hak dasar warga, antara lain hak atas pendidikan yang baik, sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 31 konstitusi kita. Sekolah negeri adalah fasilitas pendidikan yang diselenggarakan Negara, berdasarkan nilai-nilai yang dianut oleh Negara, yang bermuara pada Empat Pilar Kebangsaan, yaitu: Bhineka Tunggal Ika, Pancasila, NKRI dan UUD 1945. Lebih jauh, Pemerintah pusat sudah mengalokasikan 20 persen APBN untuk pendidikan di mana untuk tahun 2020 mencapai Rp. 508 Triliun, naik Rp. 15.5 Triliun dibanding APBN 2019 (Rp. 492,5 Triliun), melalui pengadaan pendidikan di sekolah-sekolah negeri, baik di tingkat Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi. Alangkah tidak bertanggung jawabnya jika mandat mulia seperti tercantum dalam konstitusi, dan alokasi dana yang masif dicederai dengan aturan tata tertib berbusana di sekolah-sekolah negeri.

Jilbab sendiri selama 30 tahun belakangan ini menjadi kontroversi tiada akhir mengenai kewajiban untuk memakai jilbab bagi perempuan beragama Islam atau tidak. Tiga puluh tahun lalu, di era Orde Baru, bahkan ada pelarangan memakai jilbab di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi negeri. Dan jikapun seorang siswi memakai jilbab, maka syaratnya antara lain harus terlihat telinganya. Jika tidak, ia akan dikeluarkan dari sekolah, karena dianggap melanggar disiplin. Ini didasarkandengan lahirnya Surat Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah (Dirjen Dikdasmen) No. 052/C/Kep/D.82 yangi isinya mengenai standarisasi penggunaan seragam sekolah secara nasional. Kemudian lahir surat SK No.100/C/Kep/D/1991 yang intinya membolehkan pakaian seragam sekolah yang didasarkan pada keyakinannya.

Kini, 30 tahun kemudian, di era otonomi derah, di mana hampir semua urusan pemerintah dilakukan oleh pemerintah daerah, kecuali lima urusan masih ditangan pemerintah pusat (politik luar negeri, agama, keamanan, yustisia, moneter – fiskal) telah menghadirkan ’kewajiban’ memakai jilbab bagi siswi sekolah negeri, melalui tata tertib berseragam di sekolah. Penggunaan Jilbab sebagai ekspresi keagamaan, memang perlu dihormati, tetapi  tidak bisa dipaksakan melalui peraturan Negara, bukan saja karena belum ada kesepakatan para alim ulama mengenai kewajiban memakai jilbab  bagi siswi/mahasiswi muslim, tetapi juga Negara wajib melindungi keberagaman ekspresi warganya di mana banyak perempuan muslim ataupun mereka yang non-muslim tidak memakai jilbab.

Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) No. 45 tahun 2014 tentang Pakaian Seragam Sekolah Bagi Peserta Didik Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah, tidak mewajibkan para siswi untuk memakai jilbab. Permendikbud ini memberikan opsi mengenai seragam bagi siswi yang mengenakan jilbab, maupun siswi yang tidak mengenakan jilbab.

Memasukan kewajiban memakai seragam bernuansa agama dalam tatib adalah tindakan pemaksaan. Karena siswa akan terkena ancaman sanksi melanggar tatib sekolah sehingga dapat dikeluarkan. Siswi juga mengalami bully, tidak saja dari aparat guru yang merasa harus menerapkan tata tertib, tetapi juga dari teman-temannya. Ironis, kondisi 30 tahun lalu, sekarang terjadi, namun ditujukan kepada siswi yang tidak memakai jilbab.

Negara Indonesia, dengan pancasilanya, yang menyatakan dalam konstitusi semboyan “bhineka tunggal ika” menjadi gagap dalam hal tata tertib berbusana di sekolah. Belum lagi, terjadi penafsiran sepihak, bahwa ‘busana bernuansa agama’ selalu ditafsirkan sebagai busana agama islam, dan dipersempit menjadi ‘jilbab’. Ini akan mengucilkan siwi-siswi yang  beragama Islam namun tidak memakai jilbab, juga siswi yang beragama non islam. Tindakan pengucilan seperti ini jelas melanggar CEDAW, di mana Indonesia telah meratifikasinya sejak tahun 1982.

Pemaksaan memakai seragam sekolah negeri bernuansa agama, tidak sejalan dengan empat pilar kebangsaan: Bhineka Tunggal Ika, Pancasila, NKRI dan UUD 1945, yang pada akhirnya mendorong menebarnya bibit sektarian di sekolah negeri yang diselenggarakan oleh Negara. Karena itu pemaksaan busana bernuansa agama dengan model tertentu di setiap sekolah – sekolah negeri adalah pelanggaran HAM. Demikian pula sebaliknya.

Kasus aturan wajib jilbab di SMPN 8 yogyakarta[1] maupun kasus pelarangan penggunaan jilbab di SD Inpres 22 Wosi, Manokwari[2] sudah selayaknya tidak boleh terjadi lagi. Karena itu,Tata tertib berbusana dengan bernuansa agama sebaiknya dihapus dari sekolah-sekolah negeri di seluruh Indonesia. Hal ini harus disertai penekanan untuk tidak mem-bully, maupun mengucilkan siwi yangtidak mengenakan jilbab.

Nampaknya sederhana, tetapi harus menjadi agenda penting baik bagi pemerintah pusat, maupun pemerintah daerah.  Karena, selain bertentangan dengan HAM, kebijakan ini juga menciptakan segregasi di masyarakat.

 

Catatan:

[1] https://m.cnnindonesia.com/nasional/20190208074321-20-367371/ombudsman-minta-revisi-aturan-wajib-jilbab-di-smp-yogyakarta

[2] https://ombudsman.go.id/artikel-larangan-penggunaan-hijab-pada-sd-inpres-22-wosi-manokwari-ombudsman-temui-kepala-sekolah